27 Juli 2025
IMG-20250720-WA0120

Oleh: Moh Reza A Syadik.

Di Tengah Riuh Rendah Wacana Daerah Otonomi Baru (DOB), Satu Fakta Mendasar Perlu Ditegaskan Kembali, Sofifi Bukanlah Soal Status Administratif, Tetapi Tentang Ketertinggalan Struktural Akibat Lemahnya Komitmen & Keberanian Politik Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Sampai Pertengahan Tahun 2025, Sofifi Tetap Menjadi Ruang Kosong Dari Pembangunan Substansial, Meski Secara Hukum Telah Ditetapkan Sebagai Ibu Kota Melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999.

Secara Yuridis, Sofifi Telah Memiliki Legitimasi Formal Sebagai Pusat Pemerintahan. Namun Secara Sosiologis & Fungsional, Ia Tetap Menjadi Entitas Pelengkap Yg Tak Kunjung Menjadi Subjek Utama Pembangunan Daerah. Infrastruktur Dasar Tidak Dibangun Secara Memadai, & Kehadiran Gubernur Maluku Utara Terkini Dalam Bentuk Layanan Publik Masih Bersifat Simbolik & Temporer.

Hingga Kini, Aktivitas Birokrasi Provinsi Masih Terkonsentrasi Di Kota Ternate, Dari Rapat Pejabat, Koordinasi Anggaran, Hingga Layanan Masyarakat. Ini Bukan Lagi Soal Masa Transisi, Melainkan Pengingkaran Struktural Terhadap Amanat Konstitusi. Di Sinilah Letak Kontradiksi Mendasar Antara Apa Yg Diatur & Apa Yg Dijalankan.

Sebagai Pemegang Mandat Tertinggi, Gubernur Sherly Laos & Wakil Gubernur Sarbin Sehe Sejatinya Memiliki Instrumen Kebijakan Yg Sah Untuk Memerintahkan Seluruh ASN, Termasuk Pejabat Eselon Tinggi Dari Eksekutif, Legislatif, & Yudikatif, Untuk Berkantor Penuh & Menetap Di Sofifi. Namun, Kenyataannya Belum Ada Satu Pun Regulasi Internal Maupun Kebijakan Afirmatif Yg Benar-Benar Menegaskan Komitmen Itu Secara Total.

Mengutip Sebagaimana Ditegaskan Oleh Bung Karno Dalam Pidatonya Tahun 1963,“Kita Belum Merdeka Sepenuhnya Apabila Masih Ada Wilayah Yg Terpinggirkan Karena Kelalaian Mereka Yg Berkuasa.”

Ungkapan Itu Menjadi Refleksi Tajam Atas Situasi Sofifi Hari Ini. Yg Telah “Merdeka” Sebagai Ibu Kota Dalam Tataran Hukum, Tapi Belum Merdeka Dalam Keadilan Pembangunan.

Wacana Pemekaran Sofifi Menjadi DOB Kembali Mengemuka. Tapi Pertanyaan Kritis Yg Harus Diajukan Adalah, Apakah Benar DOB Adalah Solusi? Ataukah Ini Hanya Strategi Menghindari Tanggung Jawab Atas Ketertinggalan Infrastruktur Yg Berlangsung Selama Ibu Gubernur Memimpin?

Jika Pemerintah Sungguh-Sungguh Ingin Membangun, Status Administratif Bukanlah Penghalang.

Mengutip Kaitan Erat Didalam Perkataan Tan Malaka, Jika Dilihat Dalam Perspektif Maluku Utara Terkini, “Kemerdekaan Hanya Benar Apabila Disertai Keadilan Sosial & Tanggung Jawab Moral.”

Artinya, Membentuk DOB Tanpa Tanggung Jawab Pembangunan Adalah Kemerdekaan Administratif Tanpa Keadilan Sosial.

Data Empirik Di Lapangan Menunjukkan Jalan Di Lingkungan Sofifi Masih Rusak, Akses Air Bersih Belum Optimal, Konektivitas Digital Juga Lemah, & Pusat Layanan Publik Terpadu Belum Dibentuk Secara Maksimal. Tak Heran, Pelaku Usaha Lebih Memilih Bertahan Di Ternate, Bukan Karena Enggan, Tetapi Karena Sofifi Tidak Menyediakan Infrastruktur Yg Memungkinkan Lahirnya Aktivitas Ekonomi Yg Sehat & Berkelanjutan.

Sofifi Tidak Tumbuh Karena Tidak Diberi Ruang Untuk Hidup. Keberadaan ASN Pun Bersifat Simbolik, Hadir Setengah Waktu, Hanya Saat Rapat, Lalu Kembali Ke Ternate.

Jika Pemerintah Provinsi Ingin Membuktikan Keseriusan, Hentikan Diskursus Tentang Status, & Mulai Bangun Dari Fondasi Paling Dasar Terkait Penyediaan Air Bersih, Jalan, Kantor, Pasar, Rumah Sakit, & Sekolah, Juga Yg Paling Strategis Seperti Bandara & Pelabuhan Atau Dermaga. Dari Sana, Baru Bisa Dilahirkan Ekosistem Sosial & Ekonomi Yg Membuat Sofifi Mengalami Kemajuan.

Pembangunan Infrastruktur Dasar Bukan Sekadar Kebutuhan Fisik, Tetapi Tolak Ukur Komitmen Terhadap Keadilan Spasial. Bila Ketimpangan Wilayah Terus Dibiarkan, Maka Sejarah Akan Mencatat, Bahwa Sofifi Pernah Ditetapkan Sebagai Ibu Kota, Namun Dilupakan Oleh Mereka Yg Berkewajiban Membangunnya.

Sofifi Adalah Satu-Satunya Ibu Kota Provinsi Di Indonesia Yg Bukan Kota & Belum Pernah Benar-Benar Difungsikan Sebagaimana Mestinya. Namun, Menjadikan Status Tersebut Sebagai Dalih Stagnasi Pembangunan Adalah Bentuk Pembenaran Atas Kegagalan Birokrasi.

Saatnya Berpindah Dari Retorika Ke Tindakan Nyata. Sofifi Tidak Membutuhkan Status Baru, Meski Masih Menyandang Gelar Kelurahan, Tetapi Bila Kebutuhan Dasar & Arah Pembangunan Yg Jelas Kongkrit Dilakukan Dengan Komitmen Berkeadilan, Maka Sofifi Tidak Akan Menjadi Ibu Kota Mati.

Sebagaimana Yg Pernah Ditegaskan Oleh Mohammad Hatta, “Indonesia Merdeka Bukan Hanya Untuk Mengganti Penjajah Asing Dengan Pribumi, Tetapi Untuk Menciptakan Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Dari Sabang Sampai Merauke.”

Status Administratif Bukan Syarat Mutlak Pembangunan. Yg Dibutuhkan Adalah Kemauan Politik (Political Will), Penganggaran Prioritas, & Kehadiran Birokrasi Secara Fungsional. Banyak Daerah Lain Berhasil Membangun Ibu Kota Kabupaten/Provinsi Meski Statusnya Masih Desa, Kelurahan, Atau Kecamatan.

Maka Tidak Ada Alasan Pemprov Maluku Utara Menunggu DOB. Sofifi Bukan Hanya Tidak Valid Secara Empiris, Tapi Juga Menyesatkan Secara Konseptual.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *