
Sofifi — Pemerintah Provinsi Maluku Utara secara resmi membuka Rapat Koordinasi Awal Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Tahun 2025, sebagai langkah strategis untuk memperkuat sinergi lintas sektor dalam mewujudkan reforma agraria yang inklusif, berkeadilan, dan berpihak pada masyarakat adat.
“Berdasarkan Sumber terpercaya yang di Identifikasi Media ini, “Dalam sambutannya, Gubernur Maluku Utara Sherly Laos menegaskan bahwa penyelesaian konflik agraria di wilayahnya harus dimulai dari pengakuan legal atas tanah-tanah adat. Ia menyoroti tumpang tindih perizinan tambang dengan wilayah adat sebagai pemicu utama konflik sosial yang berkepanjangan di berbagai daerah.
> “Karena tanah adat tidak bersertifikat, izin tambang sering tumpang tindih dan konflik pun tak terhindarkan. Reforma agraria harus melindungi hak masyarakat adat sebagai subjek utama,” tegas Gubernur Sherly.
Sebagai bentuk komitmen, Pemprov Malut telah menyiapkan sejumlah langkah konkret, di antaranya:
Mediasi antara masyarakat adat dan perusahaan tambang,
Percepatan sertifikasi tanah adat, serta
Integrasi wilayah adat ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi.
Gubernur menyampaikan bahwa target tahun ini adalah penerbitan 4.000 sertifikat tanah, sebagai bagian dari program penataan aset dalam kerangka reforma agraria nasional.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Maluku Utara, Stanley, menjelaskan bahwa pihaknya menargetkan redistribusi 700 bidang tanah sepanjang tahun 2025. Namun, ia mengakui bahwa pelaksanaan program penataan akses belum berjalan optimal karena keterbatasan anggaran.
> “Kami sudah mengidentifikasi 6.750 kepala keluarga yang berhak, tapi kegiatan penataan akses belum bisa dijalankan sepenuhnya,” ujarnya.
Koordinasi lintas sektor terus diperkuat untuk mengatasi kendala di lapangan. Tahun ini, pelaksanaan reforma agraria akan diprioritaskan di tiga wilayah strategis: Halmahera Barat, Halmahera Utara, dan Halmahera Selatan. Ketiga daerah ini dipilih karena tingginya tingkat konflik penguasaan lahan serta keberadaan komunitas adat yang signifikan.
Program akan difokuskan pada pemetaan ulang kawasan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), penyusunan rencana tata ruang berbasis komunitas, serta pemberdayaan masyarakat adat sebagai subjek pembangunan.
Menutup rakor tersebut, Gubernur Sherly kembali menekankan bahwa keberhasilan reforma agraria bukan semata soal legalitas kepemilikan, tetapi juga soal keadilan sosial dan pengakuan hak rakyat kecil, khususnya masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan.
> “Dengan semangat Marimoi Ngone Futuru, kita dorong reforma agraria yang inklusif dan berpihak pada rakyat,” pungkasnya.