
Oleh: Yusman Arifin, SH
Advokat Senior
Peluncuran 80.000 Koperasi Desa Merah Putih oleh Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar seremoni, melainkan pernyataan politik dan ekonomi yang kuat: membangkitkan kekuatan kolektif rakyat dari akar rumput. Peresmian di Desa Bentangan, Klaten, menjadi simbol dimulainya babak baru dalam sejarah ekonomi Indonesia—dengan desa sebagai subjek, bukan lagi objek pembangunan.
Presiden Prabowo mengibaratkan koperasi sebagai seikat lidi—sendiri rapuh, bersama kuat menyapu segala rintangan. Pernyataan ini bukan metafora kosong. Koperasi adalah jalan tengah antara kapitalisme yang menindas dan sosialisme yang mengatur segalanya. Ia hidup dari semangat gotong royong, tetapi tetap produktif dan berorientasi pada kesejahteraan.
Namun, di balik gebyar peluncuran program ini, terdapat pertanyaan krusial: apakah kita siap?
—
Koperasi dan Dilema Tata Kelola
Program Koperasi Merah Putih ini melibatkan lintas sektor, dengan dukungan lebih dari 15 kementerian, berbagai BUMN besar seperti Pupuk Indonesia, Pertamina, Bank BRI, Mandiri, Telkomsel, IF Food, hingga Bulog. Skala ini menunjukkan keseriusan negara. Tetapi semakin besar lingkup, semakin kompleks tantangan tata kelola.
Inpres No. 10 Tahun 2025 menyebut empat sumber pendanaan: APBN, APBD, Dana Desa, dan sumber sah lainnya. Namun, hingga kini belum tersedia aturan teknis yang rinci. Banyak desa belum memiliki SDM, perangkat, maupun pengalaman mengelola koperasi dalam skala bisnis yang profesional.
Skema pinjaman dari Himbara misalnya, jika tidak disertai mitigasi risiko, bisa berujung pada gagal bayar massal. Beberapa pihak menyebut koperasi akan menerima dana awal Rp3–5 miliar. Tapi, bagaimana mekanisme pencairannya? Apa parameter kelayakan koperasi? Dan bagaimana perlindungan hukum jika terjadi masalah?
—
Risiko Top-Down Tanpa Kesiapan
Program ini bersifat top-down. Pemerintah pusat menentukan kebijakan, desa menjalankan. Jika desa hanya menerima perintah tanpa ruang adaptasi, maka tanggung jawab akan timpang. Satgas pusat semestinya menjadi pemandu utama, bukan hanya regulator dari kejauhan.
Tanpa mapping kesiapan desa, kita berisiko memaksakan program kepada desa yang belum punya kapasitas bisnis atau manajemen keuangan yang memadai. Lebih bijak jika program ini diawali dengan pilot project, lalu diperluas secara bertahap dengan evaluasi yang ketat.
—
Koperasi Bukan Sekadar Bentuk, Tapi Isi
Koperasi bukan hanya struktur hukum. Ia adalah entitas bisnis. Maka koperasi merah putih jangan hanya menjadi legalitas tanpa aktivitas, atau badan usaha tanpa arah usaha. Harus ada regulasi teknis yang mengatur hubungan koperasi dengan mitra BUMN dan BUMD, tata kelola pinjaman, laporan keuangan, hingga perlindungan hukum bagi pengurus dan anggota.
Dan jangan lupa: pendampingan hukum dan bisnis wajib ada. Negara tidak bisa hanya mendorong dari atas, tapi harus hadir di lapangan—membina, mengawasi, dan mengadvokasi jika terjadi masalah.
—
Harapan Besar, Tapi Jangan Lengah
Koperasi Merah Putih adalah mimpi besar yang sangat mungkin menjadi kenyataan. Tapi mimpi ini membutuhkan peta jalan yang jelas, aktor yang siap, dan aturan yang kuat. Jangan biarkan program ini berakhir seperti banyak proyek ambisius lainnya—ramai di awal, senyap di akhir.
Jika dikelola dengan benar, koperasi desa bisa menjadi fondasi baru ekonomi Indonesia: ekonomi yang berdaulat, berkeadilan, dan berbasis komunitas.
—
Penulis adalah Advokat Senior