27 Juli 2025
IMG-20250628-WA0044

Di salah satu wilayah desa di daerah ini, muncul reaksi emosional dari pihak keluarga kepala desa setelah adanya aksi kritik yang disampaikan oleh LSM terhadap kinerja kepala desa, khususnya dalam pengelolaan dana publik. Aksi koreksi itu dilakukan secara terbuka dan sah secara konstitusional sebagai bagian dari pengawasan sosial terhadap jabatan publik yang menggunakan uang negara.

Namun yang mengejutkan, justru muncul sebuah unggahan dari akun Facebook yang diduga milik anak kepala desa tersebut. Dalam unggahan itu, ia menanggapi kritik bukan dengan klarifikasi atau bantahan argumentatif, melainkan dengan nada personal dan emosional. Ia bahkan secara terbuka menantang pihak LSM untuk “bertanding di tinju jalanan”, sambil menyebut bahwa dirinya siap mendaftarkan langsung formulir bagi yang bersedia.

Ungkapan tersebut berbunyi:

“Bismillahirrahmanirrahim. Undangan terbuka buat oknum LSM yang telah menghina Bapak saya untuk bertanding dengan saya di tinju jalanan. Oknum LSM yang telah menyerang pribadi, mengiring opini, menyebar kebencian, membuat keranda Bapak saya. Saya atas nama anak kandungnya bisa saja melaporkan kalian kembali. tapi saya tidak melakukan itu. Saya memilih untuk mendaftarkan diri di tinju jalanan untuk menantang kalian ( oknum LSM). Bagi oknum yang bersedia, Saya sendiri yang akan antar formulir ke kalian.”

Pernyataan seperti ini tentu sangat disayangkan, karena mencerminkan bahwa sebagian pihak masih belum bisa membedakan antara kritik terhadap jabatan publik dan serangan terhadap pribadi. Padahal, jabatan yang dibiayai oleh uang rakyat sejatinya harus siap dikritik, dikoreksi, dan diawasi.

Alih-alih menjawab dengan transparansi dan etika komunikasi publik, reaksi dengan ancaman fisik justru menunjukkan krisis pemahaman terhadap demokrasi dan tanggung jawab jabatan.

Sikap seperti ini, jika dibiarkan, akan menumbuhkan budaya antikritik, memperkuat feodalisme kekuasaan, dan menjauhkan masyarakat dari semangat keterbukaan serta akuntabilitas. Jabatan bukanlah warisan keluarga yang tak boleh disentuh, melainkan amanah yang harus dibuka ruang evaluasinya oleh siapa pun.

Publik berharap agar semua pejabat publik, termasuk keluarganya, dapat belajar membedakan ruang pribadi dan jabatan. Kritik bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menjaga agar kekuasaan tetap dalam jalurnya yaitu melayani, bukan dilayani.
(B.Gunawan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *